Pariwisata
dalam tinjauan
Apa yang ditawarkan
wisata adalah eskapisme. Kita melarikan diri dari yang-rutin, dari obligasi
sosio-kultural di rumah, sekolah, kantor, dan masyarakat. Dengan wisata, kita
melupakan segala keburukan tentang menjadi urban, tentang kereta pagi yang
sesak, tentang jalanan yang ruwet, tentang politik yang kian mengerikan. Kita
pergi ke tempat-tempat yang indah, ke surga-surga duniawi, ke lorong-lorong
yang menawarkan sejuta fantasi.
Mungkin karena itu pariwisata selalu dipandang
dengan positif. Tak ada kesan jelek disana. Kita merayakannya dengan seluruh,
mencapnya sebagai juruselamat dari rutinitas yang brengsek. Industri
mengemasnya dengan cantik, negara menjadikannya sumber pemasukan (apalagi di
saat-saat genting), media memolesnya dengan hiperbola. Dan, kampus-kampus
hanyalah perpanjangan tangan dari semangat masyarakat hari ini: konsumsi sampai
mampus.Tak banyak kritisme di studi-studi pariwisata. Dia sudah terlanjur
identik dengan manajemen, bisnis, perhotelan, hospitality, dan hal-hal lain
terkait urusan mengeruk uang dan memanjakan turis di destinasi. Studi
pariwisata yang kritis adalah barang langka. Ada memang, tapi bisa dihitung
dengan jari. Sebenarnya gejala ini tak hanya di Indonesia. Di seluruh dunia pun,
gairah untuk memelajari pariwisata dengan pendekatan kritis masih tergolong
baru.
Sebagai negara yang kaya akan potensi wisata, baik berupa
kekayaan alam, budaya, kesenian tradisional, dan nilai-nilai budaya, kekayaan
wisata Indonesia belum dikelola secara serius oleh pemerintah maupun komunitas
yang berkecimpung di bidang wisata. Keterpurukan akibat krisis yang melanda
bangsa Indonesia hingga kini belum bisa bangkit dan terkesan kurang kreatif
untuk segera melepaskan diri dari keterpurukan yang berkepanjangan ini. Bangsa
ini selalu sibuk berfikir kekayaan sumber alam; langkah yang ditempuh dengan
pendekatan mikro atau makro dan sebagainya, sementara pariwisata yang
jelas-jelas menghasilkan devisa secara langsung tidak mendapat perhatian
serius. Belum lagi problem pariwisata yang menyangkut ranah teknis telah
selesai, pariwisata telah dihadapkan pada problem keilmuan yang belum mapan.
Hingga kini pariwisata dipandang sebagian kalangan akademisi sebagai disiplin
multidisipliner. Implikasi dari paradigma multidisiplin dalam pariwisata yang
dicangkokan begitu saja pada keilmuan lain atau paling ekstrim melebur
pariwisata dengan keilmuan lain. Akibatnya, pariwisata kehilangan akar dan
filosofisnya atau basis keilmuan dan karakteristiknya. Oleh karana itu
diperlukan penataan ulang atau rekonstruksi dengan pendekatan filsafat ilmu. Di
samping itu, penulis menggunakan pendekatan paradigma post-positivistik.
Paradigma keilmuan Thomas Kuhn dan Imre Lakatos dengan Program Risetnya, untuk
bisa menemukan realitas atau hard core keilmuan pariwisata. Hasil penelitian
tesis ini menunjukkan bahwa hakikat pariwisata berupa bangunan realitas yang
dinamis. Basis ontologis ini terbangun karena karekteristik perjalanan yang
berbeda dan beragam. Keunikan dalam komponen-komponen dasar pariwisata di atas
jelas menggambarkan bahwa ilmu pariwisata mempunyai basis ontologi yang
bersifat dinamis. Karena itu dalam dinamika yang paling esensi adalah keamanan,
keselamatan dan kenyamanan. Model epistemologi ilmu pariwisata yang
dikategorikan sebagai ilmu-ilmu sosial-humaniora, metode yang tepat keilmuannya
adalah hermeneutika. Dalam perjalanan terbentuk relasi intersubyektivitas juga
terdapat sign berupa kata-kata, isyarat, fakta, peristiwa, dan mind-affected
structure. Melalui semua sign itulah humaniora dapat menangkap dunia dalamnya,
begitu pula, hanya sign-lah yang membuat Humaniora berharga untuk disebut ilmu.
Epistemologi dalam
ilmu pariwisata terdapat pada model intersubyektivitas antara wisatawan dengan
wisatawan lainnya melalui sikap ekspresif dunia batin (lebenswelt), wisatawan
dengan alam melalui sikap ekspresif dunia obyektif, wisatawan dengan
benda-benda budaya dengan sikap praktis-estetis. Dimensi etis tidak bisa
dipisahkan darinya. Pergumulan wisatawan dan interaksinya dengan lingkungan
alam dan budaya syarat dengan nilai-nilai etis. Dimensi filosofis pariwisata memberi
wawasan akan eksistensi pariwisata itu sendiri. Khususnya pariwisata dalam
konteks Indonesia yang sama sekali terkait dengan nilai-nilai luhur sesuai
dengan budaya lokal. Kata Kunci: Ilmu Pariwisata, Dinamis,, Filsafat pariwisata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar