Rabu, 04 Januari 2017

Pariwisata dalam tinjauan

Apa yang ditawarkan wisata adalah eskapisme. Kita melarikan diri dari yang-rutin, dari obligasi sosio-kultural di rumah, sekolah, kantor, dan masyarakat. Dengan wisata, kita melupakan segala keburukan tentang menjadi urban, tentang kereta pagi yang sesak, tentang jalanan yang ruwet, tentang politik yang kian mengerikan. Kita pergi ke tempat-tempat yang indah, ke surga-surga duniawi, ke lorong-lorong yang menawarkan sejuta fantasi.
Mungkin karena itu pariwisata selalu dipandang dengan positif. Tak ada kesan jelek disana. Kita merayakannya dengan seluruh, mencapnya sebagai juruselamat dari rutinitas yang brengsek. Industri mengemasnya dengan cantik, negara menjadikannya sumber pemasukan (apalagi di saat-saat genting), media memolesnya dengan hiperbola. Dan, kampus-kampus hanyalah perpanjangan tangan dari semangat masyarakat hari ini: konsumsi sampai mampus.Tak banyak kritisme di studi-studi pariwisata. Dia sudah terlanjur identik dengan manajemen, bisnis, perhotelan, hospitality, dan hal-hal lain terkait urusan mengeruk uang dan memanjakan turis di destinasi. Studi pariwisata yang kritis adalah barang langka. Ada memang, tapi bisa dihitung dengan jari. Sebenarnya gejala ini tak hanya di Indonesia. Di seluruh dunia pun, gairah untuk memelajari pariwisata dengan pendekatan kritis masih tergolong baru.
Sebagai negara yang kaya akan potensi wisata, baik berupa kekayaan alam, budaya, kesenian tradisional, dan nilai-nilai budaya, kekayaan wisata Indonesia belum dikelola secara serius oleh pemerintah maupun komunitas yang berkecimpung di bidang wisata. Keterpurukan akibat krisis yang melanda bangsa Indonesia hingga kini belum bisa bangkit dan terkesan kurang kreatif untuk segera melepaskan diri dari keterpurukan yang berkepanjangan ini. Bangsa ini selalu sibuk berfikir kekayaan sumber alam; langkah yang ditempuh dengan pendekatan mikro atau makro dan sebagainya, sementara pariwisata yang jelas-jelas menghasilkan devisa secara langsung tidak mendapat perhatian serius. Belum lagi problem pariwisata yang menyangkut ranah teknis telah selesai, pariwisata telah dihadapkan pada problem keilmuan yang belum mapan. Hingga kini pariwisata dipandang sebagian kalangan akademisi sebagai disiplin multidisipliner. Implikasi dari paradigma multidisiplin dalam pariwisata yang dicangkokan begitu saja pada keilmuan lain atau paling ekstrim melebur pariwisata dengan keilmuan lain. Akibatnya, pariwisata kehilangan akar dan filosofisnya atau basis keilmuan dan karakteristiknya. Oleh karana itu diperlukan penataan ulang atau rekonstruksi dengan pendekatan filsafat ilmu. Di samping itu, penulis menggunakan pendekatan paradigma post-positivistik. Paradigma keilmuan Thomas Kuhn dan Imre Lakatos dengan Program Risetnya, untuk bisa menemukan realitas atau hard core keilmuan pariwisata. Hasil penelitian tesis ini menunjukkan bahwa hakikat pariwisata berupa bangunan realitas yang dinamis. Basis ontologis ini terbangun karena karekteristik perjalanan yang berbeda dan beragam. Keunikan dalam komponen-komponen dasar pariwisata di atas jelas menggambarkan bahwa ilmu pariwisata mempunyai basis ontologi yang bersifat dinamis. Karena itu dalam dinamika yang paling esensi adalah keamanan, keselamatan dan kenyamanan. Model epistemologi ilmu pariwisata yang dikategorikan sebagai ilmu-ilmu sosial-humaniora, metode yang tepat keilmuannya adalah hermeneutika. Dalam perjalanan terbentuk relasi intersubyektivitas juga terdapat sign berupa kata-kata, isyarat, fakta, peristiwa, dan mind-affected structure. Melalui semua sign itulah humaniora dapat menangkap dunia dalamnya, begitu pula, hanya sign-lah yang membuat Humaniora berharga untuk disebut ilmu.
 Epistemologi dalam ilmu pariwisata terdapat pada model intersubyektivitas antara wisatawan dengan wisatawan lainnya melalui sikap ekspresif dunia batin (lebenswelt), wisatawan dengan alam melalui sikap ekspresif dunia obyektif, wisatawan dengan benda-benda budaya dengan sikap praktis-estetis. Dimensi etis tidak bisa dipisahkan darinya. Pergumulan wisatawan dan interaksinya dengan lingkungan alam dan budaya syarat dengan nilai-nilai etis. Dimensi filosofis pariwisata memberi wawasan akan eksistensi pariwisata itu sendiri. Khususnya pariwisata dalam konteks Indonesia yang sama sekali terkait dengan nilai-nilai luhur sesuai dengan budaya lokal. Kata Kunci: Ilmu Pariwisata, Dinamis,, Filsafat pariwisata.