KERAJAAN KUTAI
KARTANEGARA
KERAJAAN ISLAM KUTAI
E. Awal Berdirinya Kerajaan
Kutai Islam (Kertanegara)
Kerajaan Kutai islam dikenal juga
dengan kerajaan Kertanegara ing Martadipura yang berdiri setelah peperangan
besar dengan kerajaan Kutai Martapura di Muara Kaman kira-kira tahun 1605 M,
dengan terjadinya peprangan tersebut penyatuan antara kedua kerajaan tersebut
terjadi setelah kerajaan Kutai Martapura mengalami kekalahan. Kerajaan ini
berdiri pada awal abad ke-13 di tepian batu atau Kutai lama, yaitu daerah yang
dekat dengan Samarinda sekarang, pemilihan lokasi ini lebih disebabkan karena
kutai lama adalah sebuah daerah yang dilalui oleh sungai Mahakam yang juga
berfungsi sebagai jalur perdagangan serta terkenal akan kesuburan tanah yang
cocok untuk iklim pertanian. Dengan rajanya yang pertama yaitu Aji Batara Agung
Dewa Sakti (1300-1325) (Soetoen 1975 : 57).
Kedaton Kutai Kartanegara
Meninjau ulang kerajaan Kutai
Mulawarman (Martadipura) didirikan oleh pembesar kerajaan Campa (Kamboja)
bernama Kudungga, yang selanjutnya menurunkan Raja Asmawarman, Raja Mulawarman,
sampai 27 (dua puluh tujuh) generasi Kerajaan Kutai Mulawarman yaitu sebagai
berikut: Kudungga, Asmawarman, Mulawarman, Sri Warman, Mara Wijaya Warman,
Gayayana Warman, Wijaya Tungga Warman, Jaya Naga Warman, Nala Singa Warman,
Nala Perana Warmana Dewa, Galingga Warman Dewa, Indara Warman Dewa, Sangga
Wirama Dewa, Singa Wargala Warmana Dewa, Candra Warmana, Prabu Mulia Tungga
Dewa, Nala Indra Dewa, Indra Mulia Warmana Tungga, Srilangka Dewa, Guna Perana
Tungga, Wijaya Warman, Indra Mulia, Sri Aji Dewa, Mulia Putera, Nala Pendita,
Indra Paruta Dewa, dan Darma Setia.
Sementara itu pada abad XIII di
muara Sungai Mahakam berdiri Kerajaan bercorak Hindu Jawa yaitu Kerajaan Kutai
Kertanegara yang didirikan oleh salah seorang pembesar dari Kerajaan Singasari
yang bernama Raden Kusuma yang kemudian bergelar Aji Batara Agung Dewa Sakti
dan beristerikan Putri Karang Melenu sehingga kemudian menurunkan putera
bernama Aji Batara Agung Paduka Nira.
Proses asimilasi (penyatuan) dua kerajaan tersebut telah dimulai pada abad XIII dengan pelaksanaan kawin politik antara Aji Batara Agung Paduka Nira yang mempersunting Putri Indra Perwati Dewi yaitu seorang puteri dari Guna Perana Tungga salah satu Dinasti Raja Mulawarman (Martadipura), tetapi tidak berhasil menyatukan kedua kerajaan tersebut. Baru pada abad XVI melalui perang besar antara kerajaan Kutai Kertanegara pada masa pemerintahan Aji Pangeran Sinum Panji Ing dengan Kerajaan Kutai Mulawarman (Martadipura) pada masa pemerintahan Raja Darma Setia.
Proses asimilasi (penyatuan) dua kerajaan tersebut telah dimulai pada abad XIII dengan pelaksanaan kawin politik antara Aji Batara Agung Paduka Nira yang mempersunting Putri Indra Perwati Dewi yaitu seorang puteri dari Guna Perana Tungga salah satu Dinasti Raja Mulawarman (Martadipura), tetapi tidak berhasil menyatukan kedua kerajaan tersebut. Baru pada abad XVI melalui perang besar antara kerajaan Kutai Kertanegara pada masa pemerintahan Aji Pangeran Sinum Panji Ing dengan Kerajaan Kutai Mulawarman (Martadipura) pada masa pemerintahan Raja Darma Setia.
Dalam pertempuran tersebut Raja
Darma Setia mengalami kekalahan dan gugur di tangan Raja Kutai Kertanegara Aji
Pangeran Sinum Panji, yang kemudian berhasil menyatukan kedua kerajaan Kutai
Tersebut sehingga wilayahnya menjadi sangat luas dan nama kerajaannyapun
berubah menjadi Kerajaan Kutai Kertanegara Ing Martadipura yang kemudian
menurunkan Dinasti Raja-raja Kutai Kertanegara sampai sekarang.
Menurut silsilah (Raja-raja dalam
negeri) Kutai (Kertanegara), bahwa cikal bakal kerajaan Kutai Kertanegara
ialah: Aji Batara agung Dewa Sakti, ditinjau dari segi mitosnya bahwa beliau
turun dari langit dan memiliki kesaktian membawa sebuah telur dan sebuah keris
yang bernama keris Burit Kang. Aji Batara Agung kawin dengan Putri Karang
Melenu yang lahir dari buih Sungai Mahakam, dengan segala kebesaran duduk di
atas gong yang di angkat oleh Lembu Suana yang berdiri di atas kepala naga
besar. Tangan kanan memegang emas dan tangan kiri telur ayam.
Kita dapat mengetahui bahwa pada
masa akhir kerajaan Kutai Martapura terjadi suatu pemberontakan-pemberontakan,
baik yang dilakukan oleh keluarga raja sendiri maupun pihak luar disebabkan
melemahnya keuatan dalam segala aspek pemerintahan seningga dinilai tidak lagi
dapat menjalankan pemerintahan dengan baik. Jadi hal ini perlu suatu revisi,
baik dari raja, sistemnya, serta mungkin agamanya yang menjadi anutan para
penguasa raja Hindu-Buddha khususnya Kerajaan Kutai. Hal itu mungkin dapat
memicu terjadinya suatu peperangan yang terjadi antara Kerajaan Kutai Martapura
dan Kerajaan Kutai Kartanegara.
Pada masa ini kerajaan Kutai
Kartanegara belum terjadi suatu perubahan yang sangat mencolok, artinya disaat
pemerintahan Aji Batara Agung Dewa Sakti keadaan pemerintahan masih seperti
raja kerajaan Kutai Martapura karna masih awal perkembangannya dan juga masih
beragama Hindu cumin letak kerajaannya yang berbeda
F. Sistem Pemerintahan Kerajaan
Kutai Kartanegara
Dalam system ini Sultan/raja
membawahi mangkubumi, jabatan yang biasanya dipegang oleh keluarga dekat
raja/sultan misalnya paman. Tugas mangkubumi mewakili raja dalam sebuah acara
apabila raja berhalangan hadir dan memangku jabatan raja untuk menggantikan kedudukan
putra mahkota apabila putra mahkota tersebut belum berumur 21 tahun dan ini
tercantum dalam Undang-Undang pasal 9(soeton 1975 : 54).
Kedudukan di bawah raja yang
setara dengan Mangkubumi adalah majelis orang-orang besar arif dan bijaksana.
Majelis berisi kaum bangsawan dan rakyat biasa yang mengerti adat-istiada
Kutai, majelis ini bertugas membuat rancangan peraturan dan di ajukan pada
raja. Apabila peraturan tersebut disetujui maka akan di berlakukan kepada
seluruh rakyat Kutai Kartanegara ing Martadipura dan ini juga disebut “adat
yang diadatkan”.
Menteri berkedudukan dibawah raja
dan bertugas sebagai mediator antara raja dan mangkubumi dengan rakyat,
punggawa, dan petinggi (Kepala Kampung). Menteri diangkat dari keluarga dekat
raja atau keturunan bangsawan, kedudukan dan fungsi menteri diatur dalam
Undang-Undang kerajaan yang dikenal dengann “Panji salaten”. Tugas
dari menteri ini adalah menjalankan perintah raja dan mangkubumi, memberikan
nasehat kepada raja ketika menjalankan hokum dan adat bersama senopati, dan
punggawa agar hokum berjalan dengan baiak, menghukum gantung hulubalang dan
senopati yang berkhianat pada kerajaan, menyelenggarakan kesejahteraan rakyat,
dan menyanggah pendapat rakyat yang zalim dan berbuat sewenang-wenang.
Senopati kedudukannya berada di
bawah menteri dan bertugas menjaga keamanan dan ketentraman kerajaan,
menjalankan perintah raja, mangkubumi, menteri, dan pelaksana acara adat.
Punggawa merupakan ketua dalam
sebuah perkampungan dan berada dibawah menteri dan sejajar dengan senopati,
akan tetapi punggawa lah yang berhubungan langsung dengan rakyat jadi
hubungannya dekat dengan meneri.
Sedangkan kedudukan paling bawah
dalam pemerintahan adalah jabatan petinggi atau kepala kampung, dan diangkat
berdasarkan jasa terhadap kerajaan dan berlaku pada kaum biasa, dan kedudukan
berada di bawah punggawa, serta sebagai penyambung inspirasi rakyat untuk
disampaikan kepada punggawa dan di atasnya.
G. Berakhirnya Kesultanan Kutai
Kartanegara
Pada masa Aji Muhammad Parkesit
(1920-1960). Pada masa selanjutnya, kekuasaan politik dan ekonomi Kesultanan
secara berangsur-angsur dan sistematis dipangkas oleh pemerintah kolonial
Hindia-Belanda dan Pendudukan Jepang melalui serangkaian perjanjian, pemberian
hak monopoli dagang, maupun pemberian hak penarikan pajak dan cukai.
Demikian pula pada masa kemerdekaan RI, kedudukan Kutai Kartanegara turun
tingkatannya atau hilang sama sekali, secara bertahap dari kesultanan menjadi
Daerah Istimewa, lalu sebagai Daerah Swapraja, dan akhirnya sebagai Kabupaten
dengan wilayah yang lebih sempit dari pada sebelumnya.Sultan beserta keturunan
tak secara otomatis menjadi kepala pemerintahan yang turun-temurun.
Pada tanggal 27 Desember 1949, Dewan Kesultanan tergabung ke
dalam Republik Indonesia Serikat. Lalu pada tahun 1953, Kesultanan Kutai
Kartanegara ing Martadipura diubah menjadi Daerah Istimewa Kutai melalui UU
Darurat No.3 Th.1953menjadi daerah otonomi tingkat kabupaten.
Berdasarkan UU No. 27 tahun 1959
tentang “Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II di Kalimantan”, wilayah Daerah
Istimewa Kutai dipecah menjadi 3 Daerah Tingkat II, yaitu:
1. Daerah Tingkat II Kutai dengan
ibukota Tenggarong
2. Kotapraja Balikpapan dengan
ibukota Balikpapan
3. Kotapraja Samarinda dengan
ibukota Samarinda
Aji Muhammad Parikesit
Pada tanggal 20 Januari 1960, APT
Pranoto selaku Gubernur Kalimantan Timur, atas nama Menteri Dalam Negeri
melantik ketiga kepala Daerah Tingkat II, salah satunya adalah Aji Raden Padmo
sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kutai. Sehari kemudian, 21 Januari
1960, bertempat di Balairung Keraton Kesultanan Kutai Kartanegara ing
Martadipura di Tenggarong, diadakan Sidang Khusus DPRD Daerah Istimewa Kutai.
Inti dari acara ini adalah serah terima pemerintahan dari Kepala Kepala Daerah
Istimewa Kutai, Sultan Aji Muhammad Parikesit kepada Aji Raden Padmo sebagai Bupati
Kepala Daerah Tingkat II Kutai, Kapten Soedjono (Walikota Samarinda), dan A.R.
Sayid Mohammad (Walikota Balikpapan). Dengan serah terima pemerintahan tersebut
berarti Pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara dibawah Aji Sultan Muhammad
Parikesit berakhir.
Adapun beberapa faktor yang
menyebabkan berakhirnya kekuasaan kerajaan Kutai Kertanegara, diantaranya
yaitu:
o
Sedikit Sekali Adanya Usaha Kerajaan untuk Mengadakan
Integrasi dengan Masyarakat
Raja yang tadinya dihormati dan
dijunjung tinggi oleh rakyat sebagai tempat mengadukan nasib malang dirinya,
yang dianggap sebagai juru penyelamat dan menjamin kesejahteraan rakyat, namun
tidak dapat berbuat apa-apa stelah mendapat tekanan dari pihak Kolonial
Belanda. Padahal hasil yang diterima oleh kerajaan masih cukup besar.
Tetapi semua hasil yang diperoleh
kerajaan, sepenuhnya hanya dipergunakan untuk menyelenggarakan kesejahteraan
pribadi raja beserta seluruh keluarganya saja. Tiap-tiap tahun diadakan ramaian
erau untuk menyanjung kemegahan keluarga raja-raja Kutai. Kenyataan tersebut
terbanding terbalik dengan keadaan rakyat Kutai sendiri, dimana rakyat jelata
tetap melarat dan nasibnya kurang diperhatikan. Kenyataan yang diterima oleh
rakyat ini menimbulkan ketidaksenangan terhadap sultannya yang dianggap tidak
mampu memberikan kesejahteraan bagi rakyat dan tidak berniat untuk mengubah
nasib rakyatnya.
o
Adanya Tuntutan yang gigih dari Rakyat Kutai Sendiri untuk
Menhapuskan Swapraja
Faktor ini timbul akibat adanya
perbedaan sosial yang mencolok, antara kehidupan raja serta keluarganya yang
mewah di satu pihak, dan kehidupan rakyat yang melarat di lain pihak. Sehingga
rakyat Kutai sendiri merasakan bahwa tidak ada gunanya menyongkong kelangsungan
hidup kerajaan yang tidak membawa keuntungan apa-apa bagi rakyat. Selain itu,
pada umumnya rakyat Kutai sendiri sangat bersimpati terhadap Republik
Indonesia.
H. Dihidupkannya Kembali
Kesultanan Kutai Kertanegara
Ada upaya kembali dari Bupati
Kartanegara, Syaukani, Syaukani Hasan Rais, Untuk kembali menghidupkan
Kesultana Kutai Kartanegara pada era reformasi. Upaya ini dimulai tepatnya pada
tahun 1999. Upaya ini ditempuh dengan alas an untuk membangun pariwisata dan
menjaga cagar budaya.
Upaya tersebut menunai hasil pada
tahun 2001, ketika Pemerintah Republik Indonesia melalui Presiden Abdurrahman
Wahid mengizinkan dan mengakui pendirian kembali Kesultanan Kartanegara ing
Martadipura yang ditandai dengan pengangkatan Putra Mahkota, H. Aji Pangeran
Praboe Anoem Soerya Adiningrat diangkat sebagai sultan di Kesultanan Kutai
Kartanegara ing Martadipura dengan gelar sulatan Haji Aji Muhammad Salehuddin
II.
Silsilah Sultan Kartanegara:
o
Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325)
o
Aji Batara Agung Paduka Nira (1325-1360)
o
Aji Maharaja Sultan (1360-1420)
o
Aji Raja Mandarsyah (1420-1475)
o
Aji Pangeran Tumenggung Bayabaya (1475-1545)
o
Aji Raja Mahkota Mulia Alam (1545-1610)
o
Aji Dilanggar (1610-1635)
o
Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa ing Martapura (1635-1650)
o
Aji pangeran Dipati Agung ing Martapura (1650-1665)
o
Aji Pangeran Dipati Maja Kusuma ing Martapura (1665-1686)
o
Aji Ragi Gelar Ratu Agung (1686-1700)
o
Aji Pangeran Dipati Tua (1700-1710)
o
Aji Pangeran Anum Panji Mendapa ing Martapura (1710-1735)
o
Aji Muhammad Idris (1735-1778)
o
Aji Muhammad Aliyeddin (1778-1780)
o
Aji Muhammad Muslihuddin (1780-1816)
o
Aji Muhammad Salehuddin (1816-1845)
o
Aji Muhammad Sulaiman (1850-1899)
o
Aji Muhammad Alimuddin (1899-1910)
o
Aji Muhammad Parikesit (1920-1960)
o
Haji Aji Muhammad Salehuddin (1999-sekarang)
Dalam Kesultanan Kutai
Kartanegara Ing Martadipura, gelar kebangsawanan yang digunakan oleh keluarga
kerajaan adalah Aji. Gelar Aji diletakkan didepan nama anggota keluarga
kerajaan. Dalam gelar kebangsawanan Kutai Kartanegara dikenal penggunaan gelar
sebagai berikut:
o
Aji Sultan
Digunakan untuk penyebutan nama Sultan bagi kerabat kerajaan
Digunakan untuk penyebutan nama Sultan bagi kerabat kerajaan
o
Aji Ratu
Gelar yang diberikan bagi permaisuri Sultan
Gelar yang diberikan bagi permaisuri Sultan
o
Aji Pangeran
Gelar bagi putera Sultan.
Gelar bagi putera Sultan.
o
Aji Puteri
Gelar bagi puteri Sultan. Gelar Aji Puteri setara dengan Aji Pangeran.
Gelar bagi puteri Sultan. Gelar Aji Puteri setara dengan Aji Pangeran.
o
Aji Raden
Gelar yang setingkat diatas Aji Bambang.
Gelar yang setingkat diatas Aji Bambang.
Gelar ini diberikan oleh Sultan
hanya kepada pria bangsawan Kutai yang sebelumnya menyandang gelar Aji Bambang.
o
Aji Bambang
Gelar yang setingkat lebih tinggi dari Aji.
Gelar yang setingkat lebih tinggi dari Aji.
Gelar ini hanya dapat diberikan
oleh Sultan kepada pria bangsawan Kutai yang sebelumnya menyandang gelar Aji
saja.
o
Aji
Gelar bagi keturunan bangsawan Kutai. Gelar Aji hanya dapat diturunkan oleh pria bangsawan Kutai.
Gelar bagi keturunan bangsawan Kutai. Gelar Aji hanya dapat diturunkan oleh pria bangsawan Kutai.
Wanita Aji yang menikah dengan
pria biasa tidak dapat menurunkan gelar Aji kepada anak-anaknya
Jika pria Aji menikah dengan
wanita dari kalangan bangsawan Kutai sendiri atau dari kalangan rakyat biasa
maupun suku lain, maka putra-putrinya berhak menyandang gelar Aji. Namun jika
wanita Aji menikah dengan pria yang bukan keturunan bangsawan Kutai, maka
putra-putrinya tidak dapat memperoleh gelar Aji, kecuali jika wanita Aji
tersebut menikah dengan bangsawan keturunan Arab (Sayid).
Jika wanita Aji menikah dengan
keturunan Arab (Sayid), maka putra-putrinya memperoleh gelar sebagai berikut:
o
Aji Sayid
Gelar ini diturunkan kepada putera dari wanita Aji yang menikah dengan pria keturunan Arab.
Gelar ini diturunkan kepada putera dari wanita Aji yang menikah dengan pria keturunan Arab.
o
Aji Syarifah
Gelar ini diturunkan kepada puteri dari wanita Aji yang menikah dengan pria keturunan Arab.
Gelar ini diturunkan kepada puteri dari wanita Aji yang menikah dengan pria keturunan Arab.
Gelar Aji Sayid maupun Aji
Syarifah tetap setara dengan gelar Aji biasa. Artinya gelar ini tetap dibawah
Aji Bambang maupun Aji Raden.
https://tryandasmh.wordpress.com/2013/04/19/kerajaan-kutai-kartanegara/
https://id.wikipedia.org/wiki/Kertanagara
o Discuss
META
Tidak ada komentar:
Posting Komentar